Rabu, 23 Januari 2008

Sastra Anak: Mendorong Perkembangan Bahasa Siswa di Sekolah

Sastra Anak: Mendorong Perkembangan Bahasa Siswa di Sekolah
Oleh: Suwarjo Kehadiran anak di sekolah secara kultural maupun linguistik (bahasa) memberikan fenomena berbeda dalam berbagi proses dan aktivitasnya di kelas. Ketidakmampuan pendidik mengakui dan menghargai keanekaragaman dan perbedaan secara historis maupun kultural dapat memberikan kontribusi bagi performansi yang buruk pada siswa di sekolah. Benner (1992) menemukan kelas anak-anak masa awal bisa diusahakan semaksimal mungkin demi kesinambungan perkembangan keterampilan komunikasi, kognisi, dan sosial. Lingkungan dan lingkaran pembelajaran hendaknya menyediakan bermacam-macam materi konkret untuk kepentingan manipulasi, konstruksi, dan keterlibatan aktif. Di samping itu, kelas hendaknya menyediakan bahasa dalam konteks alami dan kelas yang kaya bahasa. Jika relevan, bahasa akan mudah dipelajari dan menjadi bagian suatu peristiwa nyata sehingga pembelajar memiliki kemampuan memanfaatkannya. Peristiwa-peristiwa nyata dapat diberikan dalam berbagai bentuk (dramatisasi, diskusi, dialog pajanan tugas, atau bentuk proyek lainnya). Suatu lingkaran yang kondusif bagi pembelajaran hendaknya menyertakan aktivitas-aktivitas arahan guru agar memperoleh perkembangan Kemampuan Bahasa Kognitif/Akademik (KBK/A) siswa yang terukur, yakni kemampuan mereka memanfaatkan bahasa untuk berpikir dan bernalar—tidak hanya untuk komunikasi antarpersonal. KBK/A yang lebih mudah diakses anak-anak dengan latar belakang pengalaman yang berbeda-beda dapat dibuat dengan cara mendayagunakan sastra anak sebagai medianya. Manfaat Sastra bagi Anak Pemilihan sastra (cerita) yang bermutu dalam pembelajaran sangat bermanfaat bagi anak dalam melihatkan dirinya terhadap pajanan dunia (world expose) yang global. Pada sisi lain, siswa dapat mereplikasikan pengalaman hidup orang lain yang sebenarnya dan seolah-olah mengalami sendiri di dalam kelas. Sastra pada hakikatnya adalah alat mengajarkan kehidupan. Buku sastra (cerita) berfungsi sebagai cermin dan jendela pada masyarakat global. Faltis mengikhtisarkan kelebihan buku cerita bagi para siswa: (1) buku cerita menjadi sumber yang baik untuk pengembangan bahasa, kosakata, dan konsep. Sebab, kata-kata cenderung disajikan dalam konteks-konteks yang didukung gambar atau bermacam-macam jenis petunjuk ekstra linguistik, (2) buku cerita memberikan suatu konteks bagi interaksi verbal, terutama rangkaian penting permintaan-respon-evaluasi, dan (3) buku cerita mengajarkan sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakat kepada anak-anak. Dalam praktik pendidikan di sekolah, sastra bermutu penting artinya dalam program kemahiran berbahasa yang efektif. Memanfaatkan cerita-cerita yang ditulis dengan baik akan menangkap imajinasi, sekaligus menjadi suatu model bagaimana sebuah alur berkembang dan mengalir. Cerita akan memperkaya kosakata dengan kata-kata yang hidup, warna-warni, dan dipilih dengan cermat. Mendengarkan, bercerita, menulis, dan menggambar cerita membantu perkembangan bahasa (development language) para pembelajar bahasa. Dalam penceritaan kembali (retelling) cerita yang sudah mereka dengar dan dibacakan, pengetahuan bawah sadar mereka mengarahkan produksi bahasa. Kemampuan berbahasa mereka akan terasah, kosakata bertambah, dan meningkatkan pemahaman konsep-konsep yang disajikan. Untuk men-support beberapa proses perkembangan bahasa, siswa diharapkan mampu mengomunikasikan cerita tersebut dengan orangtua mereka, orang lain, atau teman sebaya melalui bahasanya sendiri. Dalam konteks ini, perkembangan bahasa anak otomatis tertandai. Dengan bercerita dan/atau menulis, siswa mengaktualkan tataran komunikasi dan kognisi individu yang dia miliki. Efek positif lain yang diperoleh melalui sastra, antara lain, terdorongnya motivasi, berkembangnya kognisi, berkembangnya interpersonal (personality), dan berkembanganya aspek sosial. Oleh sebab itu, peran guru dalam aktivitasnya perlu memadukan bahasa dan isi dengan prinsip-prinsip maupun prosedur-prosedur yang melatarbelakanginya sesuai dengan konteks yang ada. Implementasi di Kelas Sebuah Tawaran Pemahaman di atas menyadarkan kita (pendidik, pustakawan, khususnya guru) untuk sekuat tenaga mengaktualkan sastra sebagai materi pelajaran yang wajib diberikan di kelas. Model implementasi yang perlu dibuat guru adalah pembuatan (perancangan) jadwal dalam kegiatan berapresiasi sastra dalam setiap minggunya, misalnya, mengumpulkan jurnal sastra yang dibuat tiap minggu maupun diberikan informasi berkenaan dengan penulis, karya sastra, atau keduanya. Berdasarkan taksonomi Bloom (Bloom, 1956), suatu kerangka pengajuan pertanyaan digunakan untuk mengembangkan unit membaca lima hari dan menulis. Taksonomi Bloom mengklasifikan perilaku menjadi enam kategori, dari yang sederhana (mengetahui) sampai dengan yang lebih kompleks (mengevaluasi). Pertanyaan-pertanyaan dibuat untuk menghubungkan setiap tingkat pembelajaran. Kerangka pengajuan pertanyaan untuk kumpulan sastra menunjukkan korelasi dan maksud pertanyaan tiap harinya dalam seminggu. Untuk memotivasi dan membangkitkan minat siswa pada fokus tersebut untuk kumpulan sastra, digunakan bersama-sama dengan pertanyaan pembuka. Di sini siswa harus merumuskan suatu jawaban. Misalnya, pada Senin dan Selasa, seluruh teks dibaca. Komentar dan tampilan realita maupun materi-materi lain mungkin disertakan bersama teks ketika sedang dibaca. Pada Rabu dan Kamis, salah satu bagian dibaca. Di sini siswa menciptakan suatu awal atau akhir yang baru, menulis ulang dari perspektif lain, atau memproduksinya dalam bentuk puisi. Pada Jumat, siswa diberi keleluasaan ekspresi seluas-luasnya sejak awal karena perlu kiranya mendorong ekspresi diri daripada menekankan pada sifat benar dan layaknya tanggapan. Aktivitas tersebut dapat dilakukan secara individual, berpasangan ataupun berkelompok. Kita perlu menyadari bahwa kegiatan bersastra dapat meningkatkan hubungan sosial atau mengembangkan individu selama beraktivitas sosial.
Oleh Redaksi Web - Sunday 16 July 2006 - 11:36:00

'Menonton'' Naskah Lakon Mencari Ruang
Sangatlah menggembirakan mendengar kabar terbitnya buku kumpulan drama Mas Ruscita Dewi berjudul ''Rumah Bunga''. Di tengah sepinya minat terhadap naskah drama atau naskah lakon, tentu saja penerbitan buku kumpulan drama ini pantas diacungi jempol. Sebab, dalam hitungan kapital, buku sastra yang diminati saat ini berkisar pada prosa -- cerpen dan novel, sedikit puisi, dan minus drama.
TIDAKLAH berlebihan dikatakan, kreator dan publik sastra saat ini ibarat ''menonton'' naskah lakon mencari ruang. Menonton memang belum berarti pasif, bahkan dalam konsepsi teater, menonton adalah aktivitas ''bersaksi'' yang membutuhkan konsentrasi dan energi luar biasa. Namun dalam konteks naskah drama, menonton di sini berarti pasif, tanpa greget dan minat. Begitu pula dengan ruang, tidak sebatas ruang pertunjukan tempat di mana naskah lakon diusung, namun mencakup ruang-ruang lain, semacam wilayah publikasi tempat kreator bisa menyosialisasikan karyanya, dan publik bisa mengaksesnya. Ruang ini pun ternyata telah hilang.

KEBERADAAN naskah drama, sesungguhnya tidak dapat diabaikan dari jagad teater tanah air. Apabila dirujuk pengertian teater modern dan teater tradisional di Indonesia, salah satu unsur pembeda yang utama adalah ada atau tidaknya naskah yang dimainkan. Jamak diketahui bahwa teater tradisional menjumpai publiknya berdasarkan cerita yang berkembang di tengah masyarakat (sastra lisan), kemudian dimainkan dengan tingkat spontanitas dan improvisasi yang tinggi. Sebaliknya, teater modern -- meminjam ungkapan Goenawan Mohamad (1981) -- memiliki ''kerangka situasi'' berupa naskah drama yang menempatkan kerja artistik dan produksi teater tidak sekadar improvisasi.
Akan tetapi, pentingnya naskah lakon sebagai bagian dari teater Indonesia kurang disadari. Naskah seolah-olah hanya bagian dari sastra an-sich, sementara di dunia sastra sendiri naskah identik dengan teater. Akibatnya, sedikit sekali sastrawan yang bergiat di lapangan penulisan naskah, mungkin karena menganggap naskah lakon lebih merupakan wilayah teater. Sebaliknya, tidak banyak pula teaterawan yang menulis naskah sendiri, karena kentalnya anggapan bahwa penulisan, termasuk naskah drama, lebih merupakan wilayah sastra. Silang-sengkarut ini pernah diakui N. Riantiarno, dalam sebuah diskusi di Yogyakarta (2003).
Oleh karena itu tidak perlu heran, dibandingkan puisi, cerpen dan novel, genre sastra lakon di tanah air relatif ketinggalan. Secara kuantitatif misalnya, buku "Horison Sastra Indonesia" terbitan Majalah Sastra Horison (2001) yang terdiri dari ''empat kitab'' mencatat 110 orang penyair, 82 novelis, 71 cerpenis dan hanya 27 orang saja dramawan. Dalam hal ini, pernyataan Boen Sri Omariati (1971; dua dasawarsa lalu!) masih berlaku, yakni tentang sastra (di) Indonesia yang baru menghasilkan penyair, novelis dan cerpenis, belum ada dramaturgi.
Selain itu, kecenderungan kelompok teater di Indonesia yang lebih memilih naskah asing (terjemahan, saduran) daripada naskah asli secara tidak langsung ikut memunculkan krisis naskah drama Indonesia. Hal ini pernah dibicarakan dalam diskusi tentang ''naskah pribumi'' yang diadakan Yayasan Senthong Seni Bangunjiwa Yogyakarta, bulan April 2002 yang menghadirkan Heru Kesawa Murti, Hanindawan dan Dra. Yudiaryani, MA, sebagai pembicara. Dalam diskusi tersebut terungkap antara lain bahwa dramawan kita belum sepenuhnya bebas dari rasa phobi yakni menganggap naskah asing lebih ''agung'' daripada ''naskah pribumi'', di samping faktor lain seperti kurangnya media publikasi bagi naskah drama serta mulai renggangnya ''tegur-sapa'' antara sastra dan teater.
Situasi ironis seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila disadari hubungan yang signifikan di antara keduanya. Dalam kerangka yang lebih luas, hubungan teater dan sastra terkukuhkan oleh istilah drama. Henry Guntur Tarigan (1984), merujuk buku "Webster's New Collegiate Dictionary" menyatakan bahwa drama merupakan karangan berbentuk prosa atau puisi yang direncanakan bagi pertunjukan teater; suatu lakon. Dalam konteks ini, drama memiliki pengertian sebagai theatre atau performance. Selain itu, ada pula naskah yang ditulis sebagai bahan bacaan, bukan untuk produksi panggung. Drama jenis ini dikenal dengan sebutan textplay atau repertoir atau closet drama. Apapun istilahnya, yang jelas sastra dan teater memiliki hubungan yang erat, terlebih pada drama sebagai theatre atau performance.
Tidaklah berlebihan ungkapan Hasanuddin WS (1996) bahwa drama merupakan karya dalam dua dimensi, yaitu sebagai genre sastra dan sebagai seni lakon, seni peran atau seni pertunjukan. Kemudian Boen Sri Oemarjati (1971) menyatakan pula bahwa sejarah drama di Indonesia tidak bisa lepas dari pembicaraan sejarah kesusastraan Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada sejumlah karya dan sosok sastrawan/dramawan di Indonesia, selain dikenal sebagai seorang sastrawan, tidak jarang mereka adalah juga seorang dramawan atau sebaliknya. Nama-nama seperti Putu Wijaya, N. Riantiarno, Arifin C. Noer, Wisran Hadi, Saini KM, WS Rendra, Mohamad Diponegoro dan lain-lain, merupakan sastrawan dan sekaligus dramawan, tidak saja karena mereka pendekar di dunia sastra, serta memiliki grup teater yang aktif, akan tetapi juga dikarenakan karya-karya drama mereka memiliki orientasi panggung yang kuat.
Merujuk pada dua jenis pengertian drama di atas, maka karya-karya mereka tersebut tidak hanya berhenti sebagai closet drama tetapi juga sebagai performance. Ini bukan berarti, naskah-naskah jenis textplay seperti yang ditulis Nasiah Djamin, Kirdjomuljo, B. Soelarto, Sitor Situmorang, Ali Audah, Motinggo Busje, Iwan Simatupang, Bakti Soemanto dan lain-lain tidak memberi sumbangan bagi hubungan sastra dan teater tetapi keadaan ini semestinya lebih memicu munculnya variasi hubungan yang lebih memperkaya keberadaan naskah drama Indonesia.
Akan tetapi kini, naskah sebagai ''kerangka situasi'' boleh dikatakan tanpa situasi; tidak ada upaya untuk mengkondisikan iklim kreatif ke arah lahirnya naskah drama kita.
IRONISNYA, semua itu terjadi justru di tengah maraknya dunia sastra Indonesia, baik penciptaan maupun publikasi. Puisi, cerpen dan novel, terus lahir dan berkompetisi, sedang naskah drama seperti tidak ikut ambil bagian. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya media publikasi yang mau menampung karya drama, sebagaimana pada genre sastra yang lain. Selain itu, kreator yang tertarik menekuni penulisan naskah relatif sedikit, termasuk faktor publik Indonesia yang tidak terbiasa membaca naskah drama.
Ada memang lomba naskah drama seperti dilakukan Dewan Kesenian Jakarta, namun kalah pamor dibanding prosa. Indikasinya antara lain, pemenang naskah rata-rata kreator ''tua'' dan nyaris itu-itu saja orangnya, berbeda dengan prosa yang memunculkan nama-nama baru dari kalangan muda. Artinya, tidak terjadi proses regenerasi pada penulisan naskah lakon. Kemudian novel yang menang pastilah diterbitkan menjadi buku, sedang naskah lakon silakan dimakan ngengat atau tergeletak di rak berdebu.
Dalam konteks ruang ini pula, menarik melihat situasi zaman. Apabila dilihat sekilas, pada zaman tersebut mestinya naskah drama mengalami krisis pertumbuhan atau bahkan mungkin mati. Hal ini terkait dengan refresifnya pemerintahan fasis Jepang terhadap perkumpulan, event dan aktivitas seni-budayanya. Namun, apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Menurut Boen Sri Omerjati, zaman Jepang (1926-1942) memang refresif, tetapi pertumbuhan naskah drama Indonesia justru tercatat paling subur. Salah satu faktornya adalah keberadaan para kreator yang tidak mudah menyerah, sebaliknya mampu memanfaatkan setiap peluang dan ruang yang ada.
Padahal awalnya, penulisan naskah pada zaman Jepang dimaksudkan sebagai upaya sensor karena setiap kelompok teater yang akan pentas harus menyerahkan naskahnya terlebih dahulu kepada pihak berwenang. Lewat cara inilah sensor dengan mudah dilakukan. Tapi situasi refresif disikapi oleh kreator Indonesia, salah satunya dengan strategi menulis lakon yang menggambarkan suasana perjuangan bangsa Asia khususnya dalam menghadapi perang dunia kedua. Jepang tidak mungkin menyensor karena cocok dengan semangat ''Asia Timur Raya'' yang dikobarkannya. Namun di balik itu, semangat perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dapat dikobarkan pula, sekaligus ratusan naskah drama tercipta. Inilah yang dilakukan oleh Rustam Effendi, Muhammad Yamin, Sanusi Pane, El-Hakim, Usmar Ismail, Idrus dan lain-lain. Mengapa sekarang, di tengah semaraknya sastra Indonesia dan adanya kebebasan berekspresi, naskah drama malah terlupakan?
Padahal pula, sastra Indonesia dewasa ini, memiliki ''keunikan'' tersendiri, khususnya dalam publikasi. Salah satu yang menarik adalah keberadaan ''sastra koran''. Seorang peneliti sastra Indonesia dari Jerman, Katrin Bandel (2003) mengatakan, di Barat tidak dikenal istilah ''sastra koran'', akan tetapi Indonesia mengenalnya. Hal ini mestinya dapat dibaca sebagai peluang positif ke arah penulisan kreatif, setidaknya sebagai bahan perbandingan yang dapat memotivasi penulisan naskah drama.
Sebagaimana diketahui, sastra koran terbukti mampu melahirkan banyak karya sastra, seperti puisi, cerpen dan novel, tapi, sekali lagi, tidak naskah drama. Dari media publikasi misalnya, hampir setiap koran (khususnya edisi Minggu) memuat puisi, cerpen dan novel (cerita bersambung), sedangkan rubrik naskah drama sama sekali tidak ada. Begitu pula majalah dan jurnal sastra yang terbit di Indonesia, seperti Horison dan Kalam, memang sesekali memuat naskah drama Indonesia, namun itu sangat jarang terjadi. Ketika media sastra memasuki babak baru dengan maraknya penerbitan buku (sastra), khususnya prosa yang konon cukup laku di pasaran, naskah drama tetap tak punya ruang sosialisasi. Sesekali naskah drama memang terbit juga sebagai buku, sebagaimana dilakukan Penerbit Angkasa (Bandung) dan Yayasan Untuk Indonesia (Yogyakarta), tetapi tidak sebanding dengan buku cerpen dan novel.
Dalam hal ini alasan pasar sering menjebak bahkan sudah menjadi sangat klise, padahal apa pun alasannya, ketiadaan media sosialisasi bagi naskah drama berarti adalah kemunduran. Menurut Jakob Sumardjo (1992), kuatnya tradisi teater tradisional Indonesia yang tidak mengenal naskah drama menjadi salah satu penyebab kurang dikenalnya drama sebagai teks (sastra), kecuali sebatas pertunjukan semata. Akibatnya, minat masyarakat untuk membaca naskah drama sangatlah kurang sehingga penerbit mesti berpikir tiga kali sebelum menerbitkan buku drama, bahkan redaktur majalah atau surat kabar juga ikut demikian.
Situasi ini justru berbeda jauh dengan zaman Pujangga Baru sampai tahun 1960-an ketika naskah drama memiliki media sosialisasi yang setara dengan genre sastra lainnya. Berbagai majalah menyediakan ruang yang luas untuk itu, bahkan jika perlu sebuah edisi semuanya berisi naskah drama. Majalah Budaya, Siasat, Indonesia, Seni, Aneka, Teruna Bakti dan Minggu Pagi merupakan sederet majalah yang memiliki rubrik khusus untuk naskah drama. Pada tahun 1980-an, Harian Kompas pernah memuat drama ''Panembahan Reso'' karya Rendra sebagai cerita bersambung, tapi sayang tidak dilanjutkan dengan naskah lakon lainnya.
Tentu saja kelangkaan atau ketiadaan ruang publikasi secara tidak langsung mengurangi minat orang pada naskah drama (kreator, publik, peneliti, dan sebagainya). Memang hal ini tidak berarti kiamat. Sebagai karya dua dimensi (sastra dan teater), naskah drama memang tidak mutlak hidup dari ruang publikasi sastra semata, karena naskah drama, khususnya yang bersifat performance, bisa hidup di panggung teater. Panggung inilah yang akan mengusung sebuah naskah kepada audiensnya. Akan tetapi siapa yang dapat menjamin sebuah naskah akan lahir di tengah iklim kreatif yang kurang sehat dan tak adil? Ini tantangan bagi kita semua.
Oleh: Raudal Tanjung Banua, alumnus Jurusan Teater ISI Yogyakarta, dan Koordinator Komunitas Rumahlebah


MENGHIDUPKAN” PERPUSTAKAAN Oleh Hernowo
Dalam makna yang sungguh-sungguh, sebenarnya orang yang membaca kepustakaan yang baik telah hidup lebih daripada orang-orang yang tak mau dan tak mampu membaca…. Adalah tak benar bahwa kita hanya punya satu kehidupan yang kita jalani. Jika kita bisa membaca, kita bisa menjalani berapa pun banyak dan jenis kehidupan seperti yang kita inginkan.(S.I. Hayakawa)***
Ada sebuah cerita tentang perpustakaan. Cerita ini dituturkan oleh Dr. Seuss dalam Hooray for Diffendoofer Day. Cerita ini agak aneh, tidak biasa: “Nona Loon adalah penjaga perpustakaan kami. Dia bersembunyi di balik rak. Dan sering berteriak, ‘BICARALAH LEBIH KERAS!’ ketika kami sedang membaca dalam hati.”
Mungkin—seperti pernah disampaikan oleh sastrawan Sapardi Djoko Damono—kebanyakan perpustakaan kita lengang dan sepi lantaran mereka membaca dalam hati. Lho, kalau nanti setiap orang yang masuk ke perpustakaan dan membaca buku seraya bersuara ‘kan lantas mengganggu?
Ternyata, membaca yang efektif itu, kini, adalah membaca yang perlu dibarengi dengan suara keras. Membaca dalam hati atau membaca batin kadang tidak efektif lantaran si pembaca tidak dapat mendeteksi secara sangat cepat dan akurat apabila ada kalimat-kalimat yang salah. Hanya lewat membaca dengan suara keraslah seorang pembaca akan tahu bahwa sederetan kalimat ternyata membuatnya megap-megap atau tidak dapat bernapas.
Membaca dengan suara keras juga memberikan semacam double power. Di samping ada kekuatan melihat (seeing), juga ada kekuatan mendengarkan secara aktif (hearing). Double power dalam kegiatan membaca ini akan membuat seorang pembaca dapat mencerna lebih tajam kalimat-kalimat yang aneh dan panjang. Lebih-lebih lagi apabila yang kita baca adalah kalimat berbahasa asing.
Memang, tidak seluruh teks yang ada di buku harus dibaca semua dengan suara keras. Kita dapat memilih kalimat-kalimat yang membuat kening kita berkerut. Dan membaca dengan suara keras ini pun dapat menjadikan kegiatan membaca tidak monoton. Kita dapat melakukan variasi pembacaan yang kadang tidak bersuara, dan kadang bersuara.
Apakah membaca dengan suara keras itu mengganggu? Tidak. Membaca dengan suara keras akan “menghidupkan” perpustakaan yang lengang dan sepi. Apabila kegiatan semacam ini dapat dibiasakan, toh nanti, akhirnya, orang terbiasa juga. Yang penting—dalam konteks membaca dengan suara keras ini—kita sudah menemukan satu cara yang mungkin dapat membuang kejenuhan kita saat membaca.
***
Cara lain dalam upaya “menghidupkan” perpustakaan adalah dengan benar-benar memberikan peluang kepada setiap orang yang berkunjung ke perpustakaan untuk melakukan dua kegiatan penting sekaligus, yaitu membaca dan menulis. Menurut Dr. Stephen Krashen, dalam The Power of Reading, kegiatan membaca dan menulis, yang dilakukan secara bersamaan, akan membuat potensi seseorang melejit.
Lewat penelitian yang panjang, Dr. Krashen menunjukkan kepada para pembaca bukunya bahwa kualitas menulis hanya dapat ditingkatkan dari keaktifan membaca. Demikian pula, kegiatan membaca yang kontinu dan berdisiplin tinggi hanya akan membuahkan manfaat besar bagi yang melakukannya apabila disertai dengan proses “mengikat” (menuliskan) apa saja yang dibaca.
Perpustakaan dapat menjadi pusat pengembangan intelektual apabila di tempat itu memang berlangsung kegiatan membaca dan menulis yang sangat intensif. Sudah saatnya kini perpustakaan diubah fungsinya. Perpustakaan bukan hanya tempat untuk membaca buku, melainkan juga tempat untuk menulis buku.
Bagi para pengelola perpustakaan, kegiatan menulis itu menjadi sangat penting agar perpustakaan yang dikelolanya menjadi “hidup”. Lewat kemampuan menulis—dan tentu seorang pengelola perpustakaan juga sudah dapat dipastikan suka membaca buku—seorang pengelola perpustakaan dapat memberikan kabar baru dan menarik bagi para pengunjung perpustakaan.
Salah satu cara yang dapat ditempuhnya adalah dengan “mengikat” hal-hal menarik tentang buku baru yang diterimanya. Misalnya, dia dapat memajang poster di tempat pintu masuk perpustakaan dengan tulisan-tulisan yang memikat: “Baru saja tiba buku X karya seorang penulis hebat yang memiliki otoritas di bidangnya. Penulis ini adalah…bla…bla…bla…”
Sudah selayaknyalah apabila para pengelola perpustakaan menjadi model konkret bagaimana memadukan secara ideal kegiatan membaca dan menulis. Apabila di dalam perpustakaan ada model-model yang memang menunjukkan keadaan bahwa kegiatan membaca dan menulis ini sangat bermanfaat, tentulah para pengunjung perpustakaan akan berduyun-duyun datang ke sana dan mencicipi manfaat yang diperoleh oleh sang model.
***
Demikianlah, semoga dua langkah dalam upaya “menghidupkan” perpustakaan dapat benar-benar disadari dan kemudian dicoba diterapkan di perpustakaan mana pun. Sebagai kata akhir, berikut dikutipkan sebuah kisah lain yang disajikan oleh Dave Meier dalam karyanya, Accelerated Learning Handbook.
“Sebelum Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak pada 1440-an, kebanyakan informasi disampaikan dari generasi ke generasi secara lisan. Epos, mitos, dan dongeng dalam semua kebudayaan kuno disampaikan melalui tradisi lisan—Beowulf, Iliad, dan Odyessey karya Homer, Gilgamesh, dan banyak lagi lainnya.
“Dan, seperti dapat Anda bayangkan, kisah-kisah itu diceritakan dengan kekayaan suara yang begitu dramatis dan emosional sehingga menambah kesan mereka dalam kenangan. Begitu pula dengan bangsa Yunani Kuno. Mereka mendorong orang belajar dengan suara lantang lewat dialog. Filosofi mereka adalah ‘jika kita mau belajar lebih banyak tentang apa saja, bicarakanlah tanpa henti’.”
***
*) Penulis adalah Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMU Plus Muthahhari, Bandung*) Alamat kantor: Penerbit Mizan, Jl. Yodkali 16, telp 022-7200931*) Alamat rumah: Jl. Bola Voli 16, Arcamanik, telp 022-7102408*) E-mail: hernowo_mizan@yahoo.com
*) Foto Qizink: Di prpustakaan Surasowan Rumah Dunia, selalu tidak epi kegiatan. Perpustakaan bukan hanya membaca buku, tapi juga berdiskusi tentang apa saja; buku, menulis, serta juga artistik/lay out sebuah majalah. Di foto ini, Mas Wedha, majalah HAI, membreikan kursus gratis tentang ilustrasi majalah
ALLAH SAYANG SAMA SAYA Tabloid Dialog Jum'at, REpublika, 29 Juli 2005
''Saya belum mengerti tentang Islam, tapi saya ingin menulis sesuatu yang baik.''
***
Kalimat tawadhu itu meluncur dari bibir Heri Hendrayana Harris, atau lebih dikenal dengan nama Gola Gong (41 tahun). Penyair, cerpenis, novelis, penulis skrip, dan wartawan itu telah melewati hari-hari panjang dalam pencarian Islam.
Meski lahir dari keluarga Muslim, penulis yang terkenal dengan karyanya Balada Si Roy (terjual lebih 100.000 kopi) itu pernah menjalani hidup jauh dari nilai-nilai keislaman. Ia mengaku pernah menolak shalat selama beberapa tahun. Pernah mau menjadi atheis. Pernah menolak perkawinan. Pernah mengatakan bahwa Alquran hanyalah sebuah karya sastra.
''Saya pernah berkata kepada orang-orang, bahwa saya akan belajar sebaik mungkin dan akan membikin puisi seperti Muhammad berlindung di balik Alquran sebagai karya sastra,'' ungkap Gola Gong saat berbincang dengan wartawan Republika, Irwan Kelana, di tepian Sungai Nil, Cairo, Mesir, awal Juli 2005.
Namun, ibunya, Atisah, maupun ayahnya, Harris Sumintapura, tak pernah putus asa untuk mengingatkan anaknya agar kembali kepada Tuhan. Salah satu nasihat Ibu yang selalu diingatnya adalah, ''Kalau bagun tidur di pagi hari, ternyata kamu tidak bisa bangun lagi, kamu bisa bayangkan apa yang terjadi. Di sana, kubur dan alam akhirat, ada penguasa baru, kamu tidak bisa apa-apa.''
Ibunya yang orang Muhammadiyah itu lalu menyebutkan hadis Nabi yang mengatakan bila seorang manusia meninggal, putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh yang selalu mendoakannya.
Suatu hari di tahun 1994, saat menjadi wartawan sebuah majalah wanita, ia sedang tidur sore, di kota Bandung. Tiba-tiba ia terjaga, karena melihat bayangan laki-laki tinggi, besar dan menakutkan. ''Saya pernah melihat makhluk yang sama tahun 1992 saat berada di India dan menjalani kehidupan sebagai hippies. Saya lari ketakutan hingga tiba di sebuah masjid. Saya baru merasa tenang setelah melihat masjid. Lalu saya berwudu dan shalat,'' tuturnya.
Peristiwa itu amat membekas dalam kehidupan Gola Gong. ''Saya sadar, betapa Allah sayang sama saya. Saya sudah diingatkan (waktu di India) tapi masih membandel, namun Allah masih memberi kesempatan kedua. Padahal beberapa teman saya sudah meninggal dunia gara-gara hidup tidak benar,'' ujar lelaki kelahiran Purwakarta, 41 tahun silam. Sejak saat itulah, bibit-bibit kesadaran sebetulnya sudah mulai tumbuh dalam diri Gola Gong.
''Setelah kejadian tersebut, saya ikuti pesan Ibu untuk mencari pekerjaan tetap, mencari jodoh, hidup teratur, dan belajar menyempurnakan shalat,'' papar lelaki yang sudah menghasilkan lebih 35 novel.
Penulis yang ramah dan sangat senang berbagi ilmu menulis kepada siapa saja itu menambahkan, ''Setiap orang yang dihadapkan pada kematian akhirnya takut. Membayangkan diri kita di kubur di dalam tanah sendirian, kita pasti takut. Saya bayangkan bagaimana pedihnya keluarga kita kalau orang yang mengantar
jenazah kita ke pekuburan munafik dan menjelek-jelekkan kita. Lalu bagaimana kita sendiri di alam kubur?'' Menurutnya, supaya kita bisa tenang di alam kubur, kita harus mempercayai sesuatu. ''Saya sempat mempelajari beberapa agama. Akhirnya saya lihat hanya Islam yang bisa memberikan ketenangan,'' tuturnya.
Harus diakui, momentum keislaman Gola Gong adalah ketika ia memutuskan untuk masuk ke dunia fiksi Islam. Tahun 2000, ia ditelepon oleh Muthmainnah, yang mengaku dari Forum Lingkar Pena (FLP). ''Siapa Muthmainnah? Apa itu FLP? Apakah ada fiksi Islami?'' tanya Gola Gong ketika itu. Ia tidak hanya bertemu dengan Muthmainnah, tapi juga Helvy Tiana Rosa (ketua umum FLP dan pemred majalah An-Nida), dan Helvino (Penerbit Syamil).
Itulah awal perkenalannya dengan fiksi Islami. Setelah itu, terbitlah karya-karya Gola Gong yang bernafaskan Islam seperti Albahri, Nyanyian Perjalanan dan Pada-Mu Aku Bersimpuh. Bahkan peluncuran buku Nyanyian Perjalanan dilaksanakan di Masjid Salman ITB, Bandung.
Banyak penggemarnya yang menangis dan berduka cita ketika Gola Gong memutuskan untuk masuk ke dunia fiksi Islam. ''Mereka menyesalkan saya mengapa berpindah haluan ke fiksi Islam. Setelah saya jelaskan alasan-alasan saya, mereka akhirnya bisa menerima, meskipun tetap menyesalkan keputusan saya.''
Gola Gong mengatakan fiksi Islam yang ditekuninya sejak tahun 2000, bukanlah tren, melainkan pilihan. ''Ini adalah sikap hidup. Yang membuat saya berubah adalah fiksi Islam.'' Bagi Gola Gong, art atau seni itu hanya ada dua fase. Pertama, art for art, seni untuk seni. Yakni, ketika ia hidup di masa muda, belum punya pegangan kuat dan pemahaman terhadap Tuhan. Kedua, fiksi Islam. ''Di sebuah negeri yang mayoritas Muslim, fiksi Islam harus mendominasi. Fiksi Islam adalah milik kita, harus menjadi fase terakhir, harus menjadi pilihan,'' tegasnya.
Kini, setelah menekuni fiksi Islami, Gola Gong merasa bahwa menulis itu ada tujuan. ''Saya jadi lebih bersemangat untuk berkarya dan hidup. Saya lebih tenang hidup, karena hidup lebih berguna. Menjadi berguna jauh lebih penting daripada jadi orang penting,'' paparnya.
Setelah masuk ke dunia fiksi Islam, hidupnya sangat berkah. ''Suasana dalam rumah tangga saya terasa lebih bahagia. Tubuh bersih, jauh dari rokok, jauh dari intrik-intrik telepon tentang pesta. Teman-teman yang brutal dengan sendirinya menyingkir. Kalau mau pergi kerja, selalu didoakan oleh istri. Rumah tangga lebih harmonis, lebih indah,'' ungkapnya.
Hidupnya semakin sempurna dengan adanya pendamping setia, bernama Asih Purwaningtyas atau lebih dikenal dengan nama Tyas Tatanka. Wanita Yogya itu telah memberinya empat orang anak. Di mata Gola Gong, peran istri sangat penting. ''Yang jaga martabat rumah tangga adalah istri. Suami hanya mendampingi.''
Gola Gong mengaku selalu berpesan kepada istrinya untuk menjaga tiga hal. Yakni, jangan menggunjingkan orang lain, selalu menjadi orang pertama yang menolong orang yang kesusahan, dan jaga aib keluarga.
Bersama istrinya tercinta, Gola Gong membangun komunitas Rumah Dunia di Serang, Banten, tempat anak-anak dan remaja bebas belajar berkreativitas. ***

1 komentar:

Grass Hoper mengatakan...

Bangsa kita ini memang cenderung kurang menghargai seni dan budaya diri sendiri. Harusnya lebih banyak lagi orang seperti Usmar Ismail yang mampu mengangkat karya anak negeri ke pentas internasional