Kamis, 20 Januari 2011

Customize your blogger template - header



Read More......

Add music to your blogger



Read More......

Uploading a Video with Blogger



Read More......

Can somebody make dis happen........prolly not but they cud try



Read More......

A Fantastic Example Of Emotional Marketing



Read More......

Extraordinary Pantene Commercial



Read More......

Jumat, 17 April 2009

MIMPI-MIMPI

1885 pada bulan April lelaki sakit itu yang badannya kembali stabil setelah menulis Ubermensch pergi ke Venesia. Pengembaraan imajinya sangat melelahkan, mengelilingi berbagai belahan dunia dalam dua bulan. Kini ia kembali ke jerman. Bukan sebagai Ubermensch dalam ceritanya, tetapi sebagai manusia biasa. Nietzsche. Dia akan menyelesaikan kisah terakhir

dari Zarathustra. Karena tidak tahan tiggal di Venesia yang kering ide, pada bulan Juni dia pergi ke Sils-Maria. Adik perempuannya Elizabeth dengan Forster menikah pada tanggal 22 Mei tepat pada hari ulangtahun almarhum Wagner. Dan pada bulan September, dia berangkat lagi ke Naumburg, setelah itu pergi lagi ke Nice pada bulan Nopember.
Dia membuka jendela kamarnya yang menghadap pada sebuah bukit yang tidak ia kenal. Dan lembah itu terlihat menakjubkan, kabut tipis menyelimuti pepohonan yang jarang dan beberapa makhluk asing melayang-layang di udara mencari mangsa. Seekor laba-laba jatuh dari talang jendela, menggelantung pada tali serat yang keluar dari pantatnya. Laba-laba itu benar-benar menggantung di depan matanya. Dia mengibaskan tangannya. Tali serat laba-laba itu putus, melayang di udara dan jatuh tak terlihat.
Dia memandang ke luar jendela mengamati kembali makhluk asing yang terbang di udara. Apakah ia seekor gagak? Tanyanya dalam hati. Bukan. Di negeri ini tidak ada jenis burung seperti itu. Matanya terus mengikuti si burung yang melayang-layang di udara. Kadang tiba-tiba ia meluncur ke bawah dan dalam kecepatan yang masih dapat dilihat oleh mata, burung itu berbalik naik ke atas. Sayapnya dilipat pada saat meluncur ke bawah. Dan apabila ia hendak terbang kembali ke atas sayap-sayapnya dikembangkan. Kembali mengepak dan berputar-putar di udara.
Terdengar desahan nafasnya.
"Apakah aku akan tetap seperti ini?" entah kepada siapa dia bertanya. "Hari terus berganti, sementara aku tak juga berubah. Kepalaku masih tetap pening dan pinggulku terasa pegal bila duduk terlalu lama. Aku tak mampu melakukannya saat ini."
Sunyi. Dia masih tetap berdiri di depan jendela memandangi burung yang terus menggoda imajinasinya. Melayang-layang di udara. "Dia tak jatuh. Padahal seharusnya sudah terbanting karena keseimbangan tubuhnya dengan gravitasi sudah tidak sesuai. Tetapi dia tetap bertahan terbang. Menakjubkan." Senyum mengembang dari bibirnya. "Bukankah Zarathustra juga demikian. Melambung tinggi ke angkasa pemikiran dan iamajiku sekaligus. Dan gravitasi di kepalaku sudah tak seimbang lagi. Tetapi dia tidak jatuh. Dia tetap terbang, melayang-layang dalam iamaji dan pikiranku." Dia kembali mendesah.
"Elizabeth, beruntunglah engkau sudah menikah. Aku tak perlu lagi bertengkar denganmu. Dan aku tidak akan mengunjungimu lagi. Karena aku hanya akan menjadi beban bagimu dan suamimu, Forster." Dia berbalik, burung yang ia pandangi itu sudah meluncur terbang jauh dari pandangannya. Menghilang diantara kabut dan pepohonan yang menghalangi pandangannya.
"Tetapi, apakah kepergianku dari mereka akan membangkitkan semangatku untuk hidup lebih lama lagi? Tak ada perempuan yang dapat kujadikan pelampiasan libido. Aku tak memiliki seorang kekasihpun. Mungkin inilah yang membuatku pandai menulis dan tidak pernah berhenti untuk menulis. Hanya saja aku benci pada penerbit itu. mereka memburu tulisanku dan menjualnya. Sementara sakitku tak pernah terobati. Uang? Rasanya sudah tak berarti lagi untuk hidupku."
Dia duduk di kursi goyang, mencoba mengingat kembali apa yang ingin ia lakukan di tempat yang sunyi itu. Meja tak jauh dari hadapannya. Kosong. Sunyi tak berdenyut.
"Dimana sebenarnya Zarathustra lahir?" pertanyaan dengan tatapan kosong.
"Mungkin di Mesir yang mengenal peradaban Zoroaster. Tetapi itu adalah Tuhan. Jelas aku sudah muak dengan Tuhan. Gereja telah banyak merugikan masyarakat. Apakah itu yang disebut agama. Penyembah-penyembah berhala yang sudah tenggelam dari peradaban manusia kini muncul kembali di muka bumi dengan wajah yang lebih mengerikan lagi.
"Apapun yang dilakukan oleh manusia saat ini hanya sebuah kesia-siaan. Celaka mereka tidak menyadari hal itu. Terlalu sibuk dengan pekerjaan, dengan aturan, dengan jadwal, dengan kesibukan sehari-hari. Dalam tidurpun mereka membawa masalah hidupnya dalam mimpi-mimpi mereka. Masalah yang rendahan dan terlalu sepele untuk dipikirkan.
"Masihkah tersisa orang-orang yang memiliki pikiran besar yang mau berpikir tentang masadepan umat manusia. Masadepan yang sedang terancam oleh keangkuhan materialis. Sejarah umat manusia berngsek yang tidak berpikiran cerdas akan memenuhi bumi ini. Semuanya berakhir dengan konyol dan tolol.
"Zarathustra. Aku menginginkan Zarathustra."

1 April 1885
Sebuah pasar. Kios berbaris mengikuti alur jalan yang berliku di tikungan yang tajam. Sepi, tidak ada penjual maupun pembeli. Malam semakin larut diburu angin dingin menggigit di musim panas. Bayangan-bayangan hitam berkelebat di udara, cicit suara makhluk malam menambah kengerian pasar. Sampah terserak di tempatanya yang tidak teratur tak jauh dari jalan raya. Sesekali mobil melintas dengan cepat tidak mempedulikan bahwa di sana ada pasar. Beberapa tubuh tergeletak berselimut koran di emeperan. Api menyala di sudut utara. Seseorang sedang duduk bertutup kain sarung yang sudah lusuh. Matanya tak terlihat, demikian pula dengan struktur tubuhnya. Benar-benar gelap. Lidah api yang menggapai-gapai di udara tak mampu memberi keterangan. Hanya rasa hangat yang memberi penjelasan bahwa orang itu sedang menjaga sesuatu.
Sebuah kios tak berisi. Kosong tak terpakai. Pasar yang sudah tua kiosnya banyak tak terpakai lagi karena rapur dan bocor. Dia yang duduk di depan nyala api tetap diam membeku kedinginan. Dan api itu memberinya kehangatan membuatnya tak hendak beranjak dari hangatnya api yang sangat ia butuhkan. Wajahnya.
Dia seorang penjaga keamanan pasar. Samar wajahnya mengatakan. Lekuka rahang yang kasar sorot mata yang dalam dan tangan yang kekar terbelit di dada. Dia sedang menjaga pasar. Dia penjaga pasar. Zarathustra menemui orang ini.
"Kau di hadapan api, seperti musa yang memburu api suci. Menerima sabda Tuhan. Mengutuk sebuah kekuasaan menyingkirkan hawa nafsu dan ammarah. Kau tidakkah ada yang menjagamu selain api ini. Aku tersesat di pasar ini. Kemana gelandangan-gelandangan itu?"
Orang itu tetap diam. Tidak ada gemingan yang berarti. Tangannya hanya membetulkan api yang hendak padam di hadapannya.
"Hai orang pasar." Zarathustra berkata lagi "Aku datang dari negeri tak bernama, dunia tak berbentuk dan hidup tak bertujuan. Aku tersesat di sini. Apakah kau mau membantuku memberi tahu sesuatu?"
"Ehmmm." Orang itu menggeram
"Suaramu agung, menyeret segala pendengaranku di malam ini. Kau akan menjadi petunjukku dalam melangkah untuk esok hari. Sekali lagi persis seperti Musa yang tersesat di lembah Tih, dia tak menemukan petunjuk untuk membawa anak-anak Israel hingga dia mati karena tidak ada lagi api yang menyala di sana. Baru kemudian generasi berikutnya menemukan api itu dan mereka berhasil keluar dari Tih. Dan aku, aku benar-benar seperti Musa. Tersesat di pasar dan tak menemukan api selain di sini di dekatmu. Kau akan memberi petunjuk padaku. Kemana aku akan melangkah pada saat matahari jatuh di pasar ini dan keramaian menjadi sebuah kegaduhan manusia yang bicara dan diam secara bersamaan. Sebuah kebiasaan yang menjengkelkan. Berkatalah padaku!"
Orang itu tetap diam.
"Oh, malam. Malam sangat menakutkan. Bulir-bulir embun berjatuhan di pangkuan rerumputan. Kegelapan menyergap seluruh kehidupan. Menyeretnya ke dalam mimpi para petani yang terkubur harapan panennya karena tikus-tikus liar di lahan mereka. Pada malam hari semuanya terjadi. Berbagai kekejaman, kemesuman terjadi pada malam hari dan rencana-rencana busuk di susun dan diuji pada malam hari. Maling-maling berkeliaran pada malam hari. Benar-benar hantu itu ada pada malam hari. Apakah kau mau membantuku?"
Lagi-lagi hanya suara geraman.
"Gelap. Gelap bagian lain dari terang. Aku ini pengembara yang tersesat di pasar. Aku ridak tahu lagi apa yang harus aku lakukan dengan malam yang dingin seperri ini. Apakah aku akan sepertimu duduk membeku di hadapan api dan tubuhku akan mencair bersama terbitnya matahari esok pagi? Tidak hei manusia diam. Aku tahu ada banyak rencana yang disusun malam ini. Ada banyak maling yang berkeliaran pada malam ini. Ada banyak kemesuman yang terjasdi pada malam ini. Dan sekian banyak lagi mimpi-mimpi yang menghibur atau mengutuk orangh-orang tidur oada malam ini. Aku harus memikirkannya pada malam ini. Aku harus merencanakan sesuatu untuk esok hari."
Zarathustra diam. Gelap membeku bersama dingin menghitam di sudut jalan di hadapan api kecil yang menyala hendak padam. Orang itu tetap diam membelitkan tangan di dada, bersedakap seperti samadhi hendak mencapai nirwana di malam yang dingin di hadapan api yang terus menyala meski hendak padam. Tanpa dipersilahkan Zarathustra akhirnya duduk di samping si diam yang ia tanyai itu. Tangannya yang kuat menggapai-gapai jilatan api yang semakin lama semakin mengecil. Sementara kayu yang membuatnya bertahan semakin surut menjadi arang dan persediaan sudah tidak ada selain setumpuk sampah plastik yang ada tak jauh dari tempat itu.
"Apakah kau tak mendengar suaraku?" tanya Zarathustra di sela-sela suara angin lembut yang menyapu lorong-lorong dan menyeret sampah pelan-pelan.
"Senadainya kau tahu atau paling tidak mau mengetahui siapa diriku. Teranglah dunia ini dengan cahaya tanpa matahari. Tetapi aku sekarang tersesat. Kaulah yang akan menuntunku pada duniaku kembali. Kau hanya diam dan diam. Apakah aku akan berjalan tanpa rencana, tanpa petunjuk. Baiklah. Aku akan pergi dan aku benar-benar pergi kau akan menyesal tak mengenalku. Esok hari kau akan melihatku dan kau akan menyelsal untuk malam ini. Kau benar-benar bisu."
Dia bangkit dari sisi orang diam itu. Berdiri menatap sesuatu di arah yang ia tidak mengerti hanya insting yang mengatakannya bahwa itu adalah timur tempat matahari terbit. Tetapi bukankah sudah saatnya matahari terbit dari barat. Menentang arus sudah menjadi sesuatu yang biasa. Dan alam pun dapat melakukannya. Apalagi Tuhan melalui Nabi-nabinya bicara tentang akhir dunia dengan tanda-tanda. Matahari tidak terbit dari timur lagi. Tidak juga dari barat. Matahari tidak terbit.
Lorong-lorong pasar masih tetap seperti semula. Sepi. Kios berbaris mengikuti alur jalan yang berliku di tikungan yang tajam. Tidak ada penjual maupun pembeli. Dia berjalan menuju sebuah tempat di kegelapannya sendiri yang hanya dia yang tahu. Gelap.
"Apakah Musa pada saat menemukan cahaya di bukit Tursina itu juga tak mendengar suara? Seperti aku yang tak mendengar suara apapun dari api yang menyala di pasar ini. Tetapi. Oh, bukankah diam itu memberi jawabannya sendiri padaku. Rencana apa yang akan aku lakukan pertanyaan yang sangat tolol. Mengapa aku tak lagi secerdas dulu?"
Zarathustra tertawa. Menggema di kesunyian yang senyap. Membangkitkan bulu kudung yang mendengarnya.
"Aku benar-benar seorang penyabda yang tidak mempunyai rencana. Berbicara dengan berbagai bahasa tanpa mengerti bahasa siapa yang aku pakai. Aku berbicara dengan bahasa para Nabi. Bahasa pakir miskin. Bahasa kaum borjuis. Bahasa para ningrat. Bahasa ilmuan bahkan bahasa gelandangan pun aku bicara. Aku benar-benar pintar bicara." Tawa itu krmbasli menggema, lebih keras dan lebih menakutkan dari yang pertama.
Garis cerah membelah cakrawala. Angin semakin dingin api yang semula menyala yang dapat dilihat olehnya sudah padam tetapi orang itu tetap diam.
"Penjaga pasar. Biarkan saja dia terus diam dan terus menjaga pasar. Aku tak peduli pada orang itu." Gumamnya pelan sangat pelan hampir tak terdengar. Suara itu benar-benar lembut diseret angin ke lubang telinga dan menggetarkan genderang telinga dengan lembut.
2 April 1885
"Aku akan menyampaikan tiga perubahan untuk sebuah negara." Zarathustra bersabda di hadapan makhluk-makhluk pasar. "Kalian sudah mendengar ceramahku kemarin tentang kematian. Hari ini aku akan mengatakan sesuatu yang sangat penting. Tiga perubahan untuk sebuah negara."
"Kami tidak memerlukan negara." Teriak sebuah suara dari khalayak "Kami butuh makan dan minum, tempat tinggal dan sandang, kepuasan sex dan anak-anak. Bicaralah tentang hal itu orang asing."
"Ya. Engkau benar wahai entah siapa. Baiklah sebelum aku membicarakan tiga perubahan untuk negara aku akan menyampaiakan apa yang ingin didengar oleh entah siapa tadi.
"Makan. Banyak jenis makanan yang dapat kalian makan. Tetapi karena kalian harus bekerja untuk mendapatkan makanan, maka makanan itu menjadi sulit dan kalian terus bekerja untuk mendapatkannya. Dengan makanan kalian dapat bertahan hidup sehingga kalian mempertaruhkan hidup demi makanan. Berjuang untuk makan itulah yang dilakukan oleh kalian di sini di pasar.
"Berteriak menawarkan barang dagangan atau ngotot meminta harga yang paling murah bagi seorang pembeli. Itulah maknan. Enak di bibir sama di perut dan keluar sama sekali tidak ada yang disukai. Menjijikan. Makan, makanlah sepuas hati kalian selama kalian menginginkannya. Karena sesungguhnya pada suatu saat nanti kalian tidak akan membutuhkan makan. Kalian hanya butuh waktu dan tepat pada saat itu makanan benar-benar akan dibenci dan dunia ini akan penuh dengan makanan. Pada hari itu kalian tidak perlu lagi bekerja untuk mendapatkan makanan.
"Minum. Tidak berbeda dengan makan, demikian juga sandang, kepuasan dan sex. Sama. Selama kalian menginginkan itu semua maka kalian akan bekerja untuk mendapatkannya dan kalian akan mendapatkan derita dari apa yang kalian inginkan itu.
"Selama ini yang kalian inginkan hanya sebuah penderitaan dengan mengharapkan berbagai bentuk kepuasan dalam hidup yang kalian bayangkan. Kalian tidak pernah sungguh-sungguh ingin mendapatkan kebahagiaan. Tidak memiliki kehendak untuk berpikir tentang hal-hal yang lebih besar dan lebih sederhana. Itulah dunia manusia dan memang harus seperti itu bila masih megakui Tuhan. Kalian adalah hamba Tuhan yang tolol dan menjengkelkan. Tinggalkan makan dan minum. Jangan mencari kepuasan dan sex.
"Untuk anak. Aku ingin bicara tentang mereka secara khusus. Tentu saja tidak sekarang. Karena hari ini aku sudah mengatakan sesuatu yang perlu kalian renungkan dengan baik, yaitu berhentilah berpikir tentang makan dan minum. Jangan mengharapkan kepuasan sex yang menjijikan itu. kalian dapat membayangkan betapa sex, maksudku kenikmatan sex apapun bentuknya. Masturbasi, onani. Bersetubuh, berciuman. Segala bentuk sex itu sangat menjijikan."
Pasar bubar, Zarathustra kembali menyendiri. Diam dalam sunyi.
5 April 1885
"Seperti telah aku janjikan dua hari yang lalu. Hari ini aku akan berbicara tentang anak-anak yang kalian cintai itu." Zarathustra memulai pidatonya, orang ini benar-benar membuat banyak perasaan bermunculan dan bermacam tuduhan tajam dilemparkan ketelinganya dengan suara kejam.
"Anak lahir dari rahim seorang perempuan. Perempuan itu bisa mengandung karena persetubuhan. Karena penis dan sperma. Tetapi, hari ini tanpa penis, seorang perempuan bisa hamil. Dan inilah yang paling penting. Kalian akan mendengar apa yang akan aku katakan tentang anak.
"Sel telur mengeram dalam ovum, satu sel pejantan masuk dengan susah payah setelah mengalahkan ribuan lawan sejenisnya. Ribuan sel pejantan gugur demi menyelamatkan satu sel yang siap membuahi sel telur. Sebuah peristiwa alam terjadi dalam dunia rahim yang sempit. Erangan panjang terdengar ringkih dari mulut seorang perempuan yang sedang besetubuh dan lenguhan panjang seorang lelaki yang melepaskan hartanya yang paling berharga. Belahan dari seluruh energi tubuhnya.
"Perjalanan berlanjut dengan penantian panjang, metamorfosa dari satu bentuk ke bentuk lain terjadi dalam waktu enam bulan untuk menjadi sempurna. Ruang dan waktu penciptaan umat manusia yang terbatas, itu mengatakan bahwa hidup manusia pun terbatas. Tetapi ruh diciptakan tanpa definisi, oleh karenanya dia pun tak terdefinisikan. Manusia hanya dapat merasakan bahwa dirinya bernyawa dengan perasaannya yang terus mengalami perubahan.
"Seorang anak sesungguhnya hanya sebuah proses penitipan ruh pada dua sel yang berbeda jenis. Seorang ibu hanya sebagai pelengkap penderita dalam hidup sang anak. Sementara sang ayah adalah pelengkap sengsara bagi kehidupan anak. Dan anak itu sendiri dialah yang menikmati kehidupan yang sesungguhnya. Disayangi dan dicintai serta di manjakan oleh kedua orang tuanya. Hingga datang masanya. Sebuah hukum karma sebagai umat manusia. Sang anak akan menjadi ayah dari anak-anaknya. Dan perannya berganti pula bukan sebagai penikmat tetapi menjadi pelengkap penderita atau pelengkap sengsara bagi anaknya.
"Oleh karena itu, seorang ayah atau seorang ibu yang mengerti perannya akan melakukan sesuatu yang menyenangkan bagi hidupnya. Balas dendam dengan mengabaikan anak-anak mereka. Itu bukan dosa, tetapi kutukan yang dia buat untuk mengukuhkan sebuah keegoisan umat manusia. Bagiku orang tua macam ini cukup bijak tetapi tidak cukup baik untuk tetap manjadi mansusia. Karena mereka sesungguhnya bukan manusia. Karena manusia yang sesungguhnya akan berkorban untuk yang lain dengan tulus penuh cinta.
"Seorang anak yang dikandung selama sembilan bulan oleh seorang perempuan, kemudian anak itu lahir dan besar, setelah besar akan meninggalkan perempuan itu sendirian menantikan kematiannya. Itulah hidup. Karena anak yang lahir ibarat panah yang terlepas dari busurnya akan mencari dan menemuikan sendiri hidupnya. Yang tentu saja akan berbeda dengan peran-peran ayah dan ibunya,. Karena seorang anak hidup jauh di masa yang sangat berbeda dengan ayah dan ibunya.
"Dalam posisi seperti ini, seandainya tidak ada cinta dalam diri manusia, mana mungkin seorang manusia mau melakukan sebuah tindakan yang penuh dengan resiko tanpa mendapatkan balasan. Itulah sebabnya, Tuhan tercipta untuk merenggut kesadaran seorang manusia bahwa dirinya telah dirugikan oleh alam.
"Seorang anak yang lahir dengan kesadaran bahwa dirinya adalah mahluk yang paling disayangi oleh lingkungannya membuat mereka dapat bertahan dengan cinta. Tetapi akan lain halnya bila seorang anak manusia lahir dengan kesadaran bahwa mereka hidup dimuka bumi ini tanpa penyebab apapun baik secara fisik maupun non fisik. Yang akan terjadi adalah bahwa dirinya sosok makhluk yang berbeda yang mampu melakukan segalanya dengan akal dan pikirannya. Apapun yang ia pikirkan itulah yang akan terjadi pada dirinya.
"Hidup seorang anak seperti ini akan membawa mereka pada kehidupan yang sejatinya sebagai kehidupan manusia yang sesungguhnya. Karena mereka tidak akan merasa takut ataupun khawatir dengan hidupnya. Hidup ini diberikan dengan gratis oleh alam kepada dirinya. Dia akan melakukan apapun yang dipikirkannya. Dengan demikian anak manusia semacam ini akan menjadi penemu yang paling andal di muka bumi ini.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh mereka."
Demikianlah Zarathustra telah berbicara tentang anak, tetapi tak seorang pun yang mendengarkannya. Dia pergi meninggalkan pasar.

15 April 1885
Matahari lekas-lekas sembunyi pada saat Zarathustra berjalan ke barat. Meninggalkan pasar dengan berbagai kesan. Tetapi satu kesan yang paling dalam menyentuh naluri Zarathustra. Manusia benar-benar tolol. Dan yang lebih tolol, barangkali Tuhan. Tetapi Zarathustra meyakini Tuhan tidak ada. Yang ada hanya ketololan itu sendiri. Karena Tuhan tidak mungkin menciptakan makhluk yang sia-sia seperti manusia-manusia tolol itu. Dia berpikir, di dunia yang bukan pasar ada manusia yang bijak yang akan berbicara dengannya, bukan hanya bertanya. Karena para penanya yang bertemu dengannya sangat menjengkelkan. Sebuah tanya yang sia-sia. Sebesar apapun jawaban yang ia berikan, orang-orang yang bertanya itu hanya bertanya. Tidak menghiraukan jawaban. Mereka terlalu sibuk memikirkan pertanyaan, lupa untuk menyimak jawaban yang diberikannya. Benar-benar sia-sia.
Manusia sebanyak itu tak satu pun yang peduli dengan jawabanku. Aku benar-benar putus asa. Aku akan pergi ke tempat lain.
Perjalanan Zarathustra terhenti di sebuah masjid. Ia mendengar sesuatu. Terjadi pertentangan antara kelompok muslim. Perdebatan panjang tentang perlu tidaknya negara Islam. Zarathustra termenung.
"Sebuah kesadaran antara Islam dan non Islam terbangun dari adanya aturan keberagamaan. Peran Tuhan dikukuhkan dengan menciptakan perbedaan di muka bumi. Manusia akhirnya lupa, mereka enggan untuk bersatu menguasai bumi. Karena mereka merasa di bumi ini masih ada musuh yang lain yang harus segera di musnahkan. Yaitu mansusia yang lain yang harus segera disingkirkan untuk kemudian membangun dunia dalam sebuah kesadaran yang mereka miliki. Agama. Dalam posisi ini Tuhan sangat diuntungkan dan dunia tidak akan pernah menemukan kedamaiannya. Karena umat manusia akan terus bertikai. Memperebutkan bungkusan kosong yang bernama kekuasan. Dunia menjadi tempat pertentangan yang paling menyenangkan.
"Seorang manusia yang berpikiran maju menemukan pertanda bahwa dunia tidak akan selesai dari masalahnya selama manusia penghuni dunia ini masih merasa bahwa diantara mereka ada musuh ada kawan. Kesadaran ini dibangun dalam berbagai bentuk kesadaran parsial. Kesadaran agama, membuat umat manusia saling bertentangan antara satu agama dengan agama yang lain. Sehingga mereka lupa untuk mengisi dan membangun dunia ini bersama-sama dalam agama yang berbeda. Kesadaran bernegara membuat manusia merasa terancam antara yang satu oleh yang lainnya, sehingga melahirkan kecurigaan-kecurigaan antara satu negara dengan negara lain. Pada saat seperi ini, kesempatan untuk membangun dunia jadi terampas dari tangan-tangan kreatif anak zaman. Kesadaran kelas juga berakibat pada saling bertentangan yang menakutkan antara satu kelas dengan kelas lainnya.
"Demikianlah sebuah kekuasaan dikukuhkan. Seorang raja mengukuhkan kekuasaannya dengan menciptakan kelas-kelas sosial dalam masyarakatnya. Sebuah negara adikuasa mengukuhkan kekusaannya dengan menciptakan kecurigaan-kecurigaan antar negara. Dan Tuhan mengukuhkan keberadaannya dengan menciptakan konflik-konflik antar umat manusia dama keberagamaan mereka.
"Oleh akerna itu kesadaran yang seharusnya tumbuh dalam sosok manusia sejati adalah kesadaran bahwa musuh mereka yang sesungguhnya adalah yang unreal. Dengan kesadaran ini manusia di muka bumi ini akan bersatu melawan yang Unreal ini. Maka dunia ini akan kehilangan deritanya dari permusushan antar umat manusia. Yang ada hanya sebuah kebersamaan menciptakan dunia baru yang penuh dengan pesona tawa dan seyum serta harum bunga-bunga yang mekar di musim hujan.
"Contoh masyarakat idela atau masyarakat surga adalah para pendahulu umat manusia ini, yaitu masyarakat purba yang tidak mengenal Tuhan dalam bentuk imaji sekarang. Tuhan bagi mereka memang tidak ada. Mereka membentuk kesadaran tentang musuh-musuh yang sifatnya unreal. Musuh-musuh inilah yang menyatukan mereka untuk melakukan berbagai kerja yang bermanfaat bagi kehidupan mereka sebagai masyarakat purba yang serba terbatas. Mereka tidak mengenal pertikaian sampai munculnya masyarakat lain yang menimbulkan kecurigaan.
"Kesadaran bahwa tidak ada musuh yang tampak di muka bumi ini itulah yang harus segera dikerjakan. Dengan kesadaran bahwa musuh umat manusia adalah sesuatu yang lain yang tidak real, yang abstrak dan tidak nyata. Dalam hal ini, musuh itu, aku mengatakannya, adalah Tuhan. Kesadaran bahwa Tuhan adalah musuh umat manusia yang sesungguhnya akan membangkitkan semangat kebersamaan untuk menghancurkan Tuhan. Umat manusia akan bersatu.
"Karena manusia pada dasarnya meyakini adanya Tuhan. Kesadaran bahwa mereka mengakui keberadaan Tuhan harus diperangi. Dengan demikian setiap manusia sudah memiliki musuhnya sendiri dan mereka dapat bersatu bersama manusia-manusia yang lain untuk memerangi musunhnya tersebut.
"Saat ini manusia modern sudah memiliki kesadaran yang sangat menarik. Yaitu bahwa musuh mereka pada hari ini adalah penyakit menular dan penindasan terhadap hak asasi manusia. Sosok musuh yang abstrak yang hanya dapat didefinisikan dan dirasakan. Akan tetapi musuh ini tetap saja sebagai musuh yang memiliki bentuk manusia yang lain. Kesadaran ini tetap merugikan umat manusia secara keseluruhan, karena mereka tidak dapat bersatu untuk menguasai dunia.
"Aku lebih cenderung dan merasa yakin bahwa musuh umat manusia yang sesungguhnya memang adalah Tuhan. Dan Tuhan adalah musuh yag paling bijak yang pernah aku jumpai. Rela berkorban untuk umat manusia yang telah Ia ciptakan. Tuhan bunuh diri untuk kita semua. Untuk umat manusia.
"Tuhan telah mati. Musuh satu-satunya umat manusia telah mati. Kini saatnya manusia merasakan kedamaian. Hidup tanpa musuh.
Epilog
Lihatlah dia sudah sangat kelelahan setelah menjalani kehidupannya yang penuh dengan penyakit dan penderitaan. Tetapi dia telah berhasil menciptakan satu monster menakutkan bagi dunia. Monster yang menghantui umat manusia di sepanjang zaman.
Nasib seorang pemikir besar tidak selalu menyenangkan. Seorang pejuang sejati selalu berakhir dengan tragis. Setiap perjuangan untuk menyelamatkan kehidupan umat manusia selalu diakhiri dengan kenyataan pahit yang menyakitkan. 3 Januari 1889 Nietzsche ambruk di piazza Carlo Alberto Turin. Ketika ia sadar kembali, keadaannya sudah tidak waras lagi. Kondisinya yang mengkhawatirkan itu menyeretnya ke klinik Universitas di Besel pada tanggal 10 Januari tahun yang sama. Hasil diagnosis menunjukkan bahwa Nietzsche mengalami paralysis progressiva; kelumpuhan yang terus bertambah parah.
Seorang ibu yang sangat mencintai anaknya membawanya kembali pulang ke pangkuannya dalam keadaan sakit parah pada tahun 1990. Tetapi malang bagi Nietzsche tujuh tahun kemudian sang ibu meninggal pada bulan April 1897. Akhirnya tepat pergantian abad tahun 1900 dia meninggal di Weimar tanggal 25 Agustus.
Demikianlah dia telah banyak menggugah manusia, bahkan kadang menghantui manusia dengan kesadaran yang lebih besar dari hanya sekedar mencari musuh sesama manusia, yang hanya menghasilkan derita dalam sejarah umat manusia. Ide terbesarnya adalah menciptakan kesadaran seluruh umat manusia - dan demikianlah adanya setiap pemikir dunia - yaitu menciptakan kesadaran baru yang akan menyelamatkan umat manusia dari kehancurannya.
Hanya sekelumit kebaikan yang dilakukan olehnya, yaitu ketika dia mengatakan bahwa Tuhan telah mati. Kalimat singkat ini mampu menyelamatkan umat manusia. Karena tugasnya adalah memberitakan tentang sosok musuh yang harus dihadapi bersama oleh seluruh umat manusia. Musuh itu adalah Tuhan dan Tuhan telah mati. Sepeninggal Tuhan, tugas manusia berikutnya adalah menciptakan kerajaan dunia yang tentram. Membangun dunia ini bersama-sama. Niscaya kedamaian akan tercipta dengan janji-janjinya yang tulus dan permusuhan berakhir.
Tetapi manusia saat ini tidak mengerti apa yang diinginkan oleh alam dengan bermacam misterinya itu. Manusia hanya mampu menyadari bahwa Tuhan adalah sesuatu yang harus dikukuhkan. Mungkin Nietzsche akan mengganti subyek tulisannya - seandainya dia masih hidup - bahwa manusia tidak memiliki musuh. Yang perlu dilakukan oleh manusia adalah menyadari bahwa hidup ini berwarna dan bagaimana membuat warna itu menjadi indah. Berlomba mewarnai dunia ini akan menciptakan kesatuan antar umat mansuia dalam membangun dunia. Sehingga tidak perlu lagi permusuhan di muka bumi ini.
Biarlah neraka dan surga itulah musuh yang paling abadi dan tidak akan pernah menyentuh dunia ini. Hanya mimpi-mimpi yang tersisa dari sejarah konyol umat manusia.


Read More......