Jumat, 17 April 2009

BANCI CERPEN

"Heh gila, kamu ngapain bengong di situ? Tambah jelek tauk!" teriakan Diah langsung membuyarkan lamunanku.

Dasar nggak tahu orang lagi bete. Diah adalah salah satu sobatku yang paling usil. Kita pertama

ketemu pas Ospek. Tapi kedekatan antara kami baru terjalin sekitar tiga tahun yang lalu.

Diantara temen segengku-kita semua berlima-aku yang teraneh. Itu menurut mereka sih. Dibilang cewek, terlalu ancur. Dibilang cowok, tapi kok gondrong? Yah, mereka memang biasa memanggilku dengan panggilan itu, gondrong.

Akhir-akhir ini aku memang sering melamun. Nggak sedikit sebenarnya teman yang kumiliki, selain gengku berlima tadi. Wajar dong, aku emang termasuk anak yang suka menclok di mana-mana.

Tapi, aku bukan orang yang mudah mengumbar perasaan atau lazim disebut curhat. Hasilnya, tiap kali ada masalah aku pasti bengong.
"Heh Ndrong, kamu tuli apa gila? Dipanggil dari tadi kok diam aja?" kali ini suara Diah lebih keras lagi.

Gila, gondrong, banci dan masih banyak lagi sebutan-sebutan yang khusus dibuat untukku. Dari sekian banyak sebutan itu, yang terakhir lah yang membuatku seperti sekarang ini, bengong.

Banci. Apa bener aku banci? Aku terlahir sebagai cewek. Tulen. Meski bodiku nggak terlalu cewek-kata teman-teman bodiku kayak papan seluncur, lurus-tapi organku normal. Tiap bulan aku hampir nggak pernah telat kedatangan tamu.
Aku dibilang cowok lebih karena suaraku yang bisa didengar orang sekampung. Keras dan menggema. Tapi, perasaanku halus banget. Terus aku ini apa? Banci?

"Heh! Banci gila yang gondrong, kamu nggak apa-apa kan? Lupa minum obat ya? Sudah dibilang dari kemarin, abis check up jangan lupa obatnya diminum biar cepat waras," rupanya Diah semakin kesal dengan tingkahku.

"Apaan sih? Suka-suka aku mau bengong, mau loncat-loncat, mau mandi cerewet banget sih", jawabku kesal.
"Dasar banci! Kenapa sih kok bete? Nyebelin tahu nggak? Kayak banci nggak laku aja," lagi-lagi Diah menggerutu.

Lagi-lagi aku cuma diam. Aku memang lagi malas. Temen-temenku bilang aku lagi puber. Puber? Zaman segini emang masih bisa puber? Umur sudah kepala dua. Kuliah sudah mau kelar. Masih puber? Telat banget!
"Kenapa sih Di? Dari tadi kok teriak-teriak? Berisik," suara centil Yulya tiba-tiba muncul.

"Tahu nih, si Gondrong dari tadi bengong melulu. Liat tuh dari tadi kupanggil nggak jawab," jawab Diah dengan kesal.
"Kamu tuh pengertian dikit kenapa. Orang lagi krisis identitas gitu digangguin," komentar Yulya yang baru kudengar sangat mengusik lamunanku.

Krisis identitas. Istilah apa lagi itu? Dasar mahasiswa psikologi sok ilmiah! Siapa yang krisis identitas? Ini semua gara-gara gosip sialan itu. Tega sekali orang nyebar gosip nggak bertanggungjawab seperti itu.
Bayangin. masak aku dibilang nggak normal, suka cewek or lesbi. LESBI. Idih!

"Banci ya banci aja, ngapain bingung sih? Lagian siapa suruh dia kayak begitu? Sudah dibilang dandan yang rapi. Pakai rok dan ngomong yang halus. Satu lagi, jangan suka godain cewek apalagi pake cium-cium segala. Ya begini hasilnya."

"Semua kan ada prosesnya, ada waktunya. Mungkin sekarang dia begini, tapi siapa tahu setahun or dua tahun lagi dia bisa jadi cewek beneran," suara Mei tiba-tiba ikut nimrung.

Dari kita berlima, Mei emang paling dewasa. Selain karena umurnya yang paling tua, nih anak memang sabar banget.
"Makan yuk, lapar nih," kali ini suara si peragawati, Lia yang terdengar.

Lia emang pantes disebut peragawati. Bodinya oke punya. Saking bagusnya kulit Lia, sampai-sampai anak-anak cowok bilang nyamuk aja bakal terpeleset kalau hinggap di kulitnya. Cuih, emang ada kayak gitu?!
"Ayo," si gendut Yulya yang emang dari tadi kelaparan langsung mengiyakan.

"Sudahlah Ndrong, nggak usah dipikirin omongan kayak gitu. Yang penting kamu tahu kalau kamu normal. Emang kamu normal nggak sih?" mulai deh si Dyah komentar lagi.
Dasar anak gila! Ngasih nasihat sama ngolok-ngolok nggak ada bedanya. Kalau ngomongnya sambil menghina gitu siapa yang mau dengerin?

"lya, ngapain sih dipikirin? Mending makan!"
"Nasibku emang buruk. Sudah banci kayak gini, punya temen kayak kalian. Benerbener apes!" akhirnya aku nggak tahan juga untuk ngomong.
***
Sudah hampir pukul 12 malam, tapi mataku belum juga menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Apa sih yang dipikirkan orang-orang? Biar aku kayak begini, aku kan nggak pemah mengganggu mereka. Aku nggak pernah ikut campur urusan orang.

Tapi gosip menyebalkan itu bener-bener menggangguku. Lesbi. What?! Aku mungkin gondrong. Tapi, emang ada salahnya kalau cewek gondrong? Banci, bolehlah. Tapi, lesbi? Please deh!

Emang apa sih yang mereka lihat dari aku? Biar belum pernah pacaran aku nggak pernah naksir cewek. Kalau masalah ngegodain, atau sekadar cium-cium kan cuma karena aku sayang mereka. Tapi tetap aja bukan sayang yang begituan. Huh, gosip memang kejam.

Pikiranku semakin nggak karuan. Melayang kemana-mana. Siapa sih penyebar gosip menyebalkan ini? Aku apain ya kalau ketemu biang keladinya? Ih, ngebayanginnya aja aku gemas.

Tapi, emangnya aku kurang kerjaan. Mau cari-cari pengecut nggak bertanggung jawab model gitu? Mau gila, mau gondrong, mau banci, mau... lesbi, itu kan urusanku!
Suara ponsel mengejutkanku yang sedari tadi melamun. Sebuah SMS ternyata. Dengan malas, kuraih ponsel yang tergeletak di sampingku.

Siapa malam-malam gini SMS? Nggak ada namanya lagi. Kampret! Kerjaan siapa lagi ini? Isi SMS itu bener-bener membuat mataku kian lebar.
Kamu Tere ya? Gw dgr lu lesbi? Blh knalan ga? Bunga.

Malam ini sepertinya akan sangat panjang. Malam ini sepertinya aku nggak mungkin bisa tidur. Malam ini aku pengin teriak sekenceng-kencengnya kalau aku normal. Kalau aku manusia biasa yang bisa sakit, marah, yang juga masih suka cowok.
Aku pengin teriak dan semua orang dengar kalau... "Banci juga manusia!***
Penulis adalah mahasiswi Universitas Airlangga Surabaya

Tidak ada komentar: